BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Penalaran
induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil
pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru
yang bersifat umum. Berkebalikan dengan penalaran deduktif. Untuk turun ke
lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memiliki konsep yang canggih
tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat
ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukanlah
syarat mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala
merupakan kunci sukses untuk dapat melakukan generalisasi.
Penalaran
deduktif adalah suatu prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang
kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan
atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Sedangkan penalaran induktif
merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus dan berakhir pada
suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum.
Namun demikian
apabila dengan cermat kita memperhatikan dan memahami kedua jenis metode
penalaran ini, deduktif dan induktif, keduanya tidak terlepas dari berbagai
kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik penalaran deduktif maupun induktif
mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap sebagai keterbatasan dari
keduanya.
2.
Permasalahan
Berdasarkan
Latar belakang di atas maka beberapa masalah yang ingin dibahas di sini yaitu:
a.
Apa kaitan antara induktivisme dan problema induksi terhadap
Ilmu Filsafat?
b.
Apa hubungan antara metode induksi
dan eksperimen franciz bacon
3.
Tujuan
Adapun tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui apa yang sebenarnya metode induksi dan eksperimen,
problema induksi dan hubungannya
dengan metode eksperimen.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sekilas tentang Francis Bacon
Francis Bacon (1561-1626) adalah anak dari Sir Nicholas
Bacon salah seorang pengawal Ratu Elizabeth I. Ia memasuki sekolah Trinity
College pada usia tiga belas tahun dan di sinilah ia mengembangkan sebuah
pemikiran antipati terhadap filsafat Aristoteles[1].
Pada usia mudanya, Bacon telah mempelajari pemikiran Plato
dan Aristoteles di Trinity College Cambridge pada tahun 1573. Tahun 1576, Bacon
menyelesaikan sekolahnya dan langsung berkunjung ke Paris. Pada tahun 1580,
Bacon kembali ke London setelah mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia.
Untuk mengisi waktunya, Bacon bekerja sebagai pengacara, dan pada tahun 1586 ia
diangkat sebagai penasihat negara. Setelah 11 tahun bekerja, Bacon dituduh oleh
parlemen menerima suap dan akhirnya dimasukan ke penjara pada tahun 1598.
Selama dalam tahanan, Bacon sangat aktif melakukan kajian intelektual dan
eksperimen ilmiah.[2]
Bacon menghabiskan waktunya di penjara kurang lebih selama
lima tahun. Hukuman ini diberikan oleh pemerintahan ratu Elizabeth I setelah
mempertahankan prinsip yang bertentangan dengan pihak kerajaan. Selama di
penjara ia juga dijauhkan dari kehidupan publik, namun akhirnya ia mendapatkan
remisi dari pihak kerajaan setelah beberapa waktu lamanya.
Bacon adalah
seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya. Menurut para ilmuan, Bacon
dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup besar pada abad ke 17.
Rintisannya terkait dengan keinginan Bacon untuk meninggalkan ilmu pengetahuan
lama dan mengusahakan ilmu yang baru. Menurut pemikirannya, ilmu pengetahuan
lama tidak sanggup memberikan kemajuan, tidak dapat memberikan hasil-hasil yang
bermanfaat serta tidak dapat melahirkan hal-hal baru yang berfaedah bagi
kehidupan umat manusia.
Bacon adalah
seorang filosof yang sangat mencolok minatnya pada ilmu pengetahuan. Bahkan dia
dianggap sebagai perintis filsafat ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon yang
terkenal adalah “Knowledge is Power” (pengetahuan adalah kuasa). Dia sangat
berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah sumber kemenangan dan kemakmuran manusia
di dunia ini. Dengan pengetahuan, manusia dapat menciptakan Mesiu untuk
memperoleh kemenangan dalam perang. Dengan pengetahuan, manusia juga dapat
membuat Kompas yang bisa digunakan sebagai penunjuk arah dalam mengarungi
lautan atau membuat Mesin Cetak untuk mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan.
Melihat
urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat menguasainya. Untuk
mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu
hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang
sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan indrawi
dengan dunia fakta. Persentuhan ini biasanya disebut pengalaman. Bacon
berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat partikular akan
menemukan pengetahuan yang benar, dan oleh karena itu ia yakin bahwa pengalaman
adalah sumber pengetahuan sejati.
Bacon
berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang
Romawi dengan soal hukum, dan orang pada Abad Pertengahan dengan teologi.
Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu
pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlakukan sebagai
abdi setia teologi. Perlakuan itu dianggapnya keliru, karena melalui ilmu itulah,
manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar pemikiran
tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is Power” (pengetahuan adalah kuasa).
Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat menguasai segalanya,
namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk
memajukan kehidupan manusia. Sedangkan “kuasa” dipahaminya sebagai kuasa atas
alam (natura non nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat ditaklukkan
dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran
kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara memahami hukum-hukumnya,
mempelajari sifat universalnya dan perkecualiannya. dengan menaklukkan alam,
Bacon sangat percaya umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.
B. Pengertian
Metode Induksi Francis Bacon
Secara umum induksi dijelaskan sebagai proses berpikir di
mana orang berjalan dari yang kurang universal menuju yang lebih universal,
atau dengan kata lain dari yang individual/ partikular menuju ke yang umum/ universal.
Induksi bisa mengantarkan manusia pada tingkatan inderawi dan individual menuju
ke tingkatan intelektual dan universal.[3]
Dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi
merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa karena
sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar
kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus
khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi
rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan
kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita
bisa menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita
amati.[4]
C. Hubungan Metode Induksi Dan Eksperimen
Merujuk pada pernyataan David Hume[5] bahwa argumentasi yang bersifat induktif
bersandar pada suatu keanekaragaman, kebiasaan dan pengalaman, hal ini sesuai
dengan apa yang menjadi stressing point Francis Bacon dengan menekankan
aspek eksperimen sebagai hal penting untuk menaklukan alam dengan
rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon
menyebutnya sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the
composition of a natural anda experimental history). Menurutnya, eksperimen
sangat penting karena jika kita dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang
terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi dalam data-data yang kita
kumpulkan, ketika kita menampilkan sebuah percobaan kita mengendalikan keadaan
pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan dari percobaan untuk melihat
apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak
pernah terjadi. Eksperimen memungkinkan kita untuk menanyakan “apa yang terjadi
jika kita melakukan
percobaan-percobaan
...?”. Bacon menyatakan bahwa dengan mengadakan percobaan-percobaan kita mampu
menaklukan alam dan rahasianya.[6]
Berdasarkan
pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern.
Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada
pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada
tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam
(interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan metode
induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1)
Rasio yang digunakan
harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya
secara umum.
2)
Rasio yang berpangkal
pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk merumuskan ungkapan
umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian
secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.
Untuk
menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon menyarankan agar
menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu:
1)
Idola tribus (bangsa)
yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan tatanan alamiah
sehingga seringkali orang tidak mampu memandang alam secara obyektif. Idola ini
menawan pikiran orang banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.
2) Idola
cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi kita sendiri
mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan.
3) Idola
fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah pendapat
orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan dan
penilaiannya yang tidak teruji.
4)
Idola theatra (theatra
= panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat tradisional adalah kenyataan
subyektif dari para filosofnya. Sistem ini dipentaskan, lalu tamat seperti
sebuah teater. [7]
Apabila seorang
ilmuan sudah luput dari semua idola itu, mereka sudah mampu melakukan
penafsiran atas alam melalui induksi secara tepat. Induksi tidak boleh berhenti
pada taraf laporan semata, karena ciri khas induksi ialah menemukan dasar inti
(formale) yang melampaui data-data partikular, berapapun besar jumlahnya. Dalam
hal ini perlu difahami bagaimana tahapan-tahapan induksi
sebagai berikut:
A.
Pertama yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data yang bersifat heterogen tentang suatu hal.
B.
Kemudian urutannya akan nampak dengan jelas, yang paling awal adalah
peristiwa konkrit partikular yang sebenarnya terjadi (menyangkut proses atau
kausa efisien), kemudian suatu hal yang lebih umum sifatnya (menyangkut skema,
atau kausa materialnya),
C. Baru
akan ditemukan dasar inti. Dalam hal dasar inti ini, pertama-tama ditemukan
dasar inti yang masih bersifat partikular, yang keabsahannya perlu diperiksa. Jika
yang ini sudah bagus,
barulah boleh terus maju menemukan dasar inti yang semakin umum dan luas. Bagi
Bacon, begitulah langkah-langkah induksi yang tepat.
Berdasarkan
uraian di atas, Bacon memberikan ketegasan bahwa induksi adalah menarik
kesimpulan umum dari hasil-hasil pengamatan yang bersifat khusus. Induksi
bukanlah penjumlahan belaka dari data-data khusus. Jika hal tersebut dilakukan,
induksi itulah yang dianggap menyesatkan, sebab hanyalah generalisasi yang
gegabah. Agar induksi mencapai kesimpulan obyektif yang bersih dari
idola-idola. induksi
sendiri memiliki beberapa sifat yang tidak boleh dihilangkan atau diabaikan.
Diantara sifat-sifat yang tidak boleh diabaikan tersebut
adalah:
1. Bukan subjektivitas, sampai
menjadi tergantung dari perasaan dan keinginan pribadi, melainkan mengenal
objek dalam dirinya sendiri.
2. Bukan pragmatis, sampai
mencari untung atau kegunaan praktis tetapi melihat objek apa adanya.
3. Bukan abstrak, sampai
terjadi hal konkret dan individual tigak digubril lagi, tetapi justru situasi
dan lingkungan konkret dipahami.[8]
D.
Problem
Induksi
Keterbatasan
induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah
dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap
empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri
(1994) terdiri atas tiga bagian.
a) Pengalaman
yang merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan obyektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai
tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul disertai
dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep
pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar
dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula,
tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang
diduga sebelumnya.
b) Dalam
mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat bergantung
pada persepsi pancaindera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan
bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga
dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja
keliru dan menyesatkan. Misalnya saja bagaimana tongkat lurus yang terendam di
dalam air akan kelihatan bengkok.
c) Dalam
induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti.
Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam
induktivisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan
ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji
terlebih dahulu.
Dalam Chalmer
(1983), dinyatakan bahwa argumen-argumen induktif tidak merupakan argumen yang
valid secara logis. Bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun
premisnya benar. Misalnya, setelah dilakukan observasi terhadap sejumlah besar
gagak pada variasi kondisi yang luas, ternyata didapat fakta gagak berwarna
hitam. Maka dapat disimpulkan semua gagak adalah hitam. Ini adalah penyimpulan
induktif yang valid dan sempurna. Namun disini tidak ada jaminan logis bahwa
gagak yang diobservasi bisa saja ada yang coklat atau merah jambu. Kalau hal
ini terbukti, maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah.
Penalaran
induktif bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa
dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa
pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar
dibuktikan atau salah. Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya
sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu
bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya.
Dengan demikian ayam (secara instingtif) memiliki pengetahuan atas suguhan
makanan dengan pembiasaan yang
diulang ulang. Maka seekor ayam
akan menyimpulkan bahwa ketika majikan datang sama dengan makanan
datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan
sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi tebasan
pisau yang meneteskan darah dilehernya. Majikan datang sama dengan maut. Dengan
demikian kesimpulan umum bahwa majikan datang sama dengan makanan menjadi
sebuah pengetahuan yang salah dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.
Tidak beda
dengan hal ini adalah kepercayaan kita atas terbitnya matahari dari timur.
Karena setiap hari matahari selalu saja terbit dari timur (walaupun mengalami
pergeseran sedikit kearah utara atau selatan), hal ini tidaklah menjadikan
kesimpulan bahwa matahari selalu terbit dari timur merupakan sebuah kebenaran mutlak.
Tidak menutup kemungkinan suatu saat matahari bisa terbit dari barat, utara
atau selatan. Dari sini tampak bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan
yang telah dibuktikan tetapi pengetahuan yang probabel/berpeluang benar.
Disini terdapat
satu bukti rasional bahwa penalaran induktif bisa jadi menghasilkan kesimpulan
yang berbahaya dan salah kaprah. Pengetahuan kita yang bersumber dari penalaran
atau pemikiran induktif bisa jadi salah. Bukan makanan yang datang melainkan
kematian. Demikianlah seperti contoh sang ayam.
Menurut
pandangan Hume, penalaran induksi sering pula dikaitkan dengan sebuah korelasi
atau hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap dua buah
kejadian yang berbeda. Hasil-hasil kesimpulan secara induksi juga dikaitkan
dengan kausalitas sebuah kejadian. Karena sedemikian sering kejadian A diikuti
oleh kejadian B, maka diambil kesimpulan bahwa kejadian A merupakan penyebab
kejadian B. Hutan yang gundul menyebabkan banjir.
Meskipun metode
penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan yang salah, namun
setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga kita tidak dapat
mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karena untuk melakukan perkiraan
atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar kita tidak dapat
memastikan bahwa suatu teori/hipotesa melalui induksi itu benar, namun kita
dapat memastikan bahwa teori/hipotesa itu belum salah. Inilah landasan berpikir
saintifik. Selama masih belum ditemukan keaslahan teori/hipotesa itu, maka
teori/hipotesa itu akan selalu dianggap benar. Dengan demikian induksi
memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Induktivisme
tidak dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang peranan induksi dalam
pembentukan pengetahuan melalui metode ilmiah. Kritik ini haruslah dipandang
sebagai acuan dalam mencari solusi alternatif mengatasi kelemahan-kelemahan
dalam induksi. Penggunaan pancaindera yang memiliki keterbatasan harus dibantu
dengan teknologi yang sempurna untuk menyempurnakan pengamatan. Metode-metode
eksperimen yang dijalankan harus ditetapkan secara benar sehingga bias karena
keterbatasan pengamatan manusia dapat diminimalisasikan.
Francis Bacon dengan menekankan aspek eksperimen
sebagai hal penting untuk menaklukan alam dengan rahasianya (to torture
nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon menyebutnya sebagai komposisi
sejarah alamiah dan eksperimental (the composition of a natural anda
experimental history). Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika
kita dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita,
maka kita dibatasi dalam data-data yang kita kumpulkan, ketika kita menampilkan
sebuah percobaan kita mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan
memanipulasi keadaan dari percobaan untuk melihat apa yang terjadi dalam
lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak pernah terjadi.
Pengalaman-pengalaman yang
dibangun sebagai dasar kebenaran juga harus didukung dengan teori-teori yang
relevan. Bergantung pada pengalaman pribadi saja bisa menimbulkan subyektivitas
yang tinggi. Oleh sebab itu kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah
ada sebelumnya harus dilakukan sehingga kebenaran yang ingin didapatkan
memiliki sifat obyektivitas yang tinggi. Pengetahuan tidak semata-mata mulai
dari pengalaman saja, tetapi ia harus menjelaskan dirinya dengan
pengalaman-pengalaman itu.
Kritik terhadap
induksi perlu juga dipahami sebagai kritik terhadap ilmu pengetahuan. Dengan
adanya keterbatasan dalam induksi sebagai salah satu prosedur dari metode
ilmiah, memberi gambaran kepada kita bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan
bukanlah satu-satunya kebenaran yang ada. Tetapi sebagai ilmuwan, kita harus
dengan rendah hati mengakui bahwa di luar ilmu pengetahuan masih terdapat
kebenaran lain.
Daftar Pustaka
·
John Losee, A Historical Introduction to the Philosophy
of Science, (New York: Oxford University, 2001)
·
Henry Van Laer, Filsafat
Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995)
·
Ewing, Persoalan-persoalan
Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
- Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave MacMillan, 2002)
·
James Ladyman, Understanding
Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002)
·
Riski Amalia Putri, Problema
Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori , diakses tanggal 2 april 2012
- Anton Bakker dan Achmad Charis Zubari, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisisus, 1990)
[1] John
Losee, A Historical Introduction to the Philosophy of Science, (New
York: Oxford University, 2001), hal. 54
[2] Adnan Mahdi, Topik-Topik
Epistemologi Tentang Induktivisme F. Bacon, Rasionalisme R. Descartes, Dan
Sintesisme, Empirisisme Serta Rasionalisme Kant, lihat http://stai-sambas.blogspot.com/2009/10/topik-topik-epistemologi-tentang.html,
diakses tanggal 2 april 2012.
[3] Henry Van Laer, Filsafat
Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hal. 69.
[4] Ewing, Persoalan-persoalan
Mendasar Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 65.
[5]Julian
Baggini, Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat
Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, (New York: Palgrave
MacMillan, 2002), hal. 23.
[6] James Ladyman, Understanding
Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002), hal.23.
[7] Riski Amalia Putri, Problema
Induksi dan Ketergantungan Observasi pada Teori , diakses tanggal 2 oktober
2010.
[8] Anton
Bakker dan Achmad Charis Zubari, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisisus, 1990), hal. 43-44.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar