PENDAHULUAN
Pada
abad pertama hijrah, yakni masa Rasulullah SAW., masa khulafaur Rasyidin dan
sebagian besar masa bani umayyah, hingga akhir abad pertama hijrah, hadis-hadis
diriwatkan secara berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut
Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan
hapalannya.
Memang
hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan kembali hadis-hadis
yang pernah direkam dalam ingatannya.kemudian Ide penghimpunan hadis Nabi
secara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh khalifah Umar bin
Khattab ( 23/H/644 M)[1].
Namun ide tersebut tidak dilaksanakan oleh Umar karena beliau khawatir bila
umat Islam terganggu perhatiannya dalam mempelajari Al-Quran
Meskipun
demikian kegiatan tulis menulis hadist
sebenarnya sudah dilakukan oleh para sahabat dimasa rasul masih hidup, sejarah telah mencatat banyak
bukti tentang hal ini, dan bukti itu sekaligus menjawab tuduhan para orientalis,
yang mengatakan bahwa hadist nabi tidak dapat dijadikan hujah oleh umat islam
karena tenggang waktu yang lama pengkodifikasian hadist tersebut, Sejarah telah mencatat 52 sahabat
telah menulis hadist yang bersumber dari rasul, terdapatnya shohifah-shohifah
sahabat, menunjukkan bukti bahwa hadist yang ditulis oleh para sahabat itu
masih orisinil sehingga telah sampai pada abad ke 2 dan berhasil
dikodifikasikan oleh kalifah Umar bin abdul azis
Tidak dapat disangkal
lagi bahwa kegiatan tulis menulis dan juga kegiatan pendidikan di dunia Islam
telah berlangsung sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Ini dapat dilihat dengan
adanya bukti-bukti bahwa ketika nabi masih hidup, para sahabat banyak yang
mencatat hal-hal yang diimlakan beliau kepada mereka. Ada juga sejumplah
sahabat yang menyimpan surat-surat nabi atau salinannya. Hudzaifah r.a.
mengatakan bahwa Nabi meminta dituliskan nama orang-orang yang masuk Islam,
maka Hudzaifah menuliskannya sebanyak 1500 orang. Selain itu ada juga aturan
registrasi nama orang-orang yang mengikuti perang.[2]
Bahkan seperempat
abad sesudah Nabi wafat, di Madinah sudah terdapat gudang kertas yang
berhimpitan dengan rumah Utsman bin Affan. Dan menjelang akhir abad pertama
pemerintah pusat membagi-bagi kertas kepada para gubernur.[3],
hal ini menunjukkan bahwa kegiatan tulis menulis pada zaman Nabi sudah sangat
marak.
Rasulullah SAW
yang menjadi kepala negara Madinah semenjak tahun pertama Hijriyah hidup di
tengah-tengah masyarakat sahabat, para sahabat bisa bertemu dengan beliau
secara langsung tanpa adanya birokrasi yang rumit seperti sekarang ini.Rasulullah
SAW bergaul dengan mereka di masjid , di pasar, rumah dan dalam perjalanan.
Segala ucapan
perbuatan dan kelakuan Rasulullah SAW-yang kita kenal sabagai hadits [4]
akan menjadi ushwah bagi para sahabat
r.a. dan mereka akan berlomba-lomba mewujudkannya dalam kehidupan mereka.
Dikarenakan tidak semua sahabat mendengar satu hadis secara bersamaan, kerena
keterbatasan ini maka para sahabat menuliskan hadits dalam shahifah agar tidak
tercecer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendapat tentang penulisan hadis pada masa
awal, ada tiga pendapat yang berkembang.
1)
Pertama, mereka
yang berpendapat bahwa masa Nabi dan sahabat, tidak ada tulisan ataupun catatan
sama sekali, sehingga tidak ada bukti tertulis yang diketahui para tabi’in
tentang hadis Nabi. Penulisan dan kodifikasi hadis baru dilakukan jauh setelah
itu, yakni masa para tabi’in, itupun atas perintah penguasa Abbasiyyah Umar ibn
Abdul Aziz, argument mereka tentang hal ini adalah:
tidak adanya bukti tertulis
dari Nabi atau sahabat yang asli. Pandangan ini dipegangi kelompok yang
mempersoalkan orisinalitas hadis Nabi.
2)
Kedua, pendapat yang dikemukakan, yang menyatakan
bahwa penulisan hadis sejak masa Nabi
sudah dilakukan, hanya bersifat perseorangan, yang ditulis para sahabat
tertentu untuk dirinya sendiri. Mereka berpandangan, tertundanya penulisan,
kompilasi dan kodifikasi hadis, karena beberapa hal; yakni, minimnya sarana
tulis dan kemampuan untuk menulis dengan baik,
hafalan para sahabat yang kuat dan larangan Nabi untuk menulis hadis.
3)
Ketiga,
pendapat yang menyatakan penulisan hadis
sudah marak pada masa Nabi meski tidak semua hadis sudah selesai ditulis
bahkan tercatat ada 52 sahabat yang memiliki tulisan Hadis, yang ini menjadi rintisan kodifikasi hadis.
Argumen yang mereka pegangi adalah tradisi tulis menulis sudah ada bahkan telah
marak pada masa Nabi, sebagai bukti :
a)
Penulis wahyu,
mencapai 40 0rang
b)
Adanya penulis resmi untuk kenegaraan, seperti
surat menyurat dan perjanjian-perjanjian
c)
Adanya izin Nabi yang membebaskan tawanan
perang Badr dengan ditukar mengajar baca tulis pada 10 orang
d)
Adanya Hadis
Riwayat Abu Daud, yang artinya Mengapa
engkau tidak mengajar wanita itu mengobati cacar, sebagaimana engkau mengajari
mereka menulis?
Dari tiga pendapat di atas, penyusun makalah cenderung mengikuti pandangan yang menyatakan bahwa
penulisan hadis sudah ada sejak masa Nabi dan banyak dilakukan oleh para
sahabat, sebagaimana tercatat dalam sejarah adanya manuskrip-manuskrip
peninggalan abad 1 H dan banyaknya riwayat sahabat dan tabi’in yang menyatakan
pernah melihat dan meriwayatkan hadis-hadis dari tulisan para sahabat. Hanya saja, memang seluruh hadis Nabi belum
tertulis dan tercatat pada masa awal secara tuntas.
Dengan demikian, bila
sejak masa Nabi tradisi tulis menulis sudah marak dan banyak sahabat yang
menulis hadis, maka adanya alasan belum tertulisnya dan terkodifikasinya hadis
secara tuntas masa Nabi atau alasan tertundanya kodifikasi hadis bukan karena
kelangkaan sarana tulis, minimnya kemampuan menulis dan rendahnya kualitas
tulisan mereka.hal ini didasari oleh beberapa Argumen yang mendukungnya adalah:
1)
Karena sejarah telah mencatat keberhasilan
penulisan al-Qur’an secara tuntas dan pengkodifikasiannya masa sahabat.
2)
Para sahabat memiliki kemampuan menulis hadis
secara total, pasti tidak ada kesulitan untuk mewujudkannya, sebagaimana
terhadap al-Qur’an. Kalau para sahabat terbatas
kemampuannya dalam menulis, mustahil al-Qur’an selesai ditulis.
3)
Untuk apa dilarang menulis hadis, kalau mereka
dianggap tidak memiliki kemampuan.
Adanya larangan melakukan sesuatu berarti pula penegasan adanya kemungkinan
besar sesuatu itu dapat dilakukan. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa
mayoritas umat pada saat itu minim kemampuan tulis dan baca serta lebih
mengandalkan kemampuan verbal atau kekuatan ingatan, bukan berarti
me-generalisasikan semua sahabat dalam
taraf yang sama dari kapasitas kekuatan hafalan dan bahwa tidak ada yang bisa
menulis dengan baik.
B. (الأحاديث الواردة في النهي عن الكتابة والإذن
فيها)
Kebolehan dan larangan menulis
Hadist
Masalah boleh tidaknya menulis hadis Nabi, merupakan problem
yang menarik untuk dikaji, mengingat adanya anggapan hal tersebut sebagai salah
satu faktor tertundanya kodifikasi hadis. Dalam hal ini ternyata, ada beberapa riwayat
hadis yang menyatakan kebolehan dan larangan menulis Hadis yang disandarkan
pada qauliyyah Nabi.
1.
. Larangan Menulis
Ada tiga sahabat yang popular yang meriwayatkan bahwa Nabi
SAW. melarang penulisan hadis, yakni AbuSaid al-Khudhriy, Abu Hurairah dan Yazid bin Thabit.
a. Abu Said al Kurdhiy
(a) melalui
Hammam dari Zaid bin Aslam dari Ata bin Yasar dari Abu Said al-Khudhriy dari
Nabi bersabda:
همام أخبرنا زيد بن أسلم، عن عطاء بن يسار، عن
أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " لا تكتبوا
عني شيئاً سوى القرآن -قال (الصاغاني) غير القرآن- ومن كتب عني غير القرآن فليمحه،
وقال: حدثوا عني ولا تكذبوا علي، ومن كذب علي - قال همام: أحسبه قال: متعمداً -
فليتبوأ مقعده من النار
”Jangan kalian tulis apa yang kalian
dengar dariku, barangsiapa yang menuliskan selain dari al-Qur’an, hendaklah
dihapus”.(H.R.
Muslim) [5]
. Jalur ini dinilai, sahih al-isnad.
(b) Melalui Abd
al-Rahman bin Zaid bin Aslam dari Zaid bin Aslam dari Ata bin Yasar dari Abu Said
al-Khudhriy:
جهدنا بالنبى صلى الله عليه وسلم أن يؤذن لنا فى الكتاب فأبى
Artinya: Kami pernah
minta izin Nabi SAW. untuk menulis hadis-hadis , tetapi beliau tidak
mengizinkannya Dalam jalur ini, ada rawi yang dinilai lemah, yakni Abd
al-Rahman.
b. Abu Hurairah
Melalui Abd
al-Rahman bin Zaid bin Aslam dari Zaid bin Aslam dari Ata bin Yasar dari Abu
Hurairah. Abu Hurairah berkata, Nabi diberitahu bahwa banyak sahabat menulis
hadis, maka beliau naik ke mimbar dan setelah membaca hamdallah, beliau
bertanya: Apa yang kalian tulis? Hadis-hadis yang kami dengar dari engkau. Nabi
lalu bersabda:
كتاب
غير كتاب الله ؟ أتذرون ؟ ما ضل الأمم قبلكم إلا بما اكتبوا من الكتب مع كتاب الله
Artinya:
Kitab selain kitab Allah? Tahukah kalian? Tidaklah tersesat
umat-umat sebelum kalian. kecuali karena kitab-kitab yang mereka tulis bersanma
Kitabullah
Sanad ini lemah, karena ada
rawi yang daif, Abd al-Rahman.
c. Zaid bin Thabit
Dari Mutalib bin Abdullah
bin Hantab, Mutalib berkata Zaid bin Thabit datang kepada Muawiyyah, dan ditanya
tentang suatu hadis. Muawiyyah lalu menyuruh pembantunya menuliskan hadisnya,
Zaid lalu mengatakan Rasul melarang untuk menulis hadis. Riwayat ini dianggap
lemah, karena Mutalib tidak langsung mendengar dari Zaid.
Dari beberapa jalur riwayat di atas, berdasar pentakhrijan
para ulama, satu jalur sanad dari Abu Said
melalui Hammam yang kualitasnya
sahih, dua jalur lain melalui Abdal-Rahman
yang dianggap daif dan satu jalur riwayat Zaid dianggap tidak muttasil.
2.
Kebolehan Menulis
Ada beberapa riwayat yang menyatakan kebolehan menulis
hadis-hadis Nabi, di antaranya dari Abdullah ibn Amr ibn As, Rafi ibn Khudaij,
Abu Hurairah dan Ibnu Abbas.
1. Abdullah bin Amr bin Ash
Abdullah bin Amr bin As, menyatakan bahwa
ia menulis segala yang didengar dari Nabi dan menghafalkannya, tetapi kaum
Quraisy menegurnya dengan alasan Engkau menulis segala apa yang Engkau dengar
dari Nabi padahal Nabi manusia biasa yang berbicara pada saat marah dan Abdullah
ibn Amr ibn As lalu melapor kepada Nabi. Nabi pun menunjuk mulutnya, seraya
menyatakan:
اكتب
عني فوالدى نفسي بيده ماخرج من فمى الآ حقٌ
Artinya:
”Tulislah, maka jiwaku yang berada
ditangan-Nya tidaklah keluar dari mulutku
kecuali kebenaran” [6]
2. Rafi
ibn Khudaij
Rafi bertanya kepada Nabi, Kami mendengar
banyak hal dari engkau apakah kami boleh menuliskannya? Jawab Nabi :
أكتبوا ولا حرج Artinya:
Tulislah dan tidak apa-apa
3.
Abu Hurairah
Pada peristiwa Fath
al-Makkah, Nabi berpidato di hadapan umat Islam. Ketika itu, ada seorang
sahabat dari Yaman bernama Abu Shah meminta kepada Nabi agar dituliskan pidato
Nabi. Nabi lalu menyuruh para sahabat menuliskan:
وروى
أبو داود في سننه عن أبي هريرة قال: لما فتحت مكة قام النبي صلى الله عليه وسلم
فذكر الخطبة - خطبة النبي صلى الله عليه وسلم - قال: فقام رجل من أهل اليمن يقال
له أبو شاه فقال: يا رسول الله اكتبوا لي، فقال: "اكتبوا لأبي شاه" [7]
.
4). Ibnu Abbas
Bahwa tatkala Nabi sakit
sangat parah, beliau berkata:
: إيتونى بكتاب أكتب لكم
كتابا لاتضلوا من بعده
Artinya:
Bawakan kepadaku
suatu kitab. Aku akan menuliskannya untuk kalian, yang setelah itu kalian tidak
tersesat Umar berkata, sesungguhnya Nabi sedang sakit dan mereka telah memiliki
al-Qur’an. Sehingga para sahabat berselisih pendapat, dan terjadilah kegaduhan.
Beliaupun bersabda:
قوموا
عنى ولا نتبفى عندى التنازع
Tinggalkan aku, tidak seyogyanya kalian bertikai di depanku.
Berdasar penelitian para ulama hadis beberapa riwayat di
atas, khususnya yang berasal dari Sahih Bukhari maupun Sahih Muslim berkualitas
sahih, sehingga dapat diambil kehujjahannya.
Berangkat dari beberapa riwayat yang muta’aridah atau
kontradiktif tersebut, beberapa ulama
menawarkan solusi untuk memahaminya:
1.
Hadis yang melarang penulisan hadis (hanya satu
hadis yang sahih) mauquf alaih atau ditangguhkan, sehingga tidak dijadikan
hujjah.
2.
larangan terhadap penulisan hadis berlaku
khusus bila penulisan hadis dan al-Qur’an dalam satu naskah sehingga menjadikan
kekhawatiran bercampurnya tulisan hadis dan al-Qur’an.
3.
Larangan berlaku bagi orang yang dapat diandalkan hafalannya dan dikhawatirkan
memiliki ketergantungan dengan tulisan. Sedang kebolehan berlaku bagi orang
yang tidak bisa mengandalkan hafalannya, seperti kasus Abu Shah.
4.
Bahwa Larangan bersifat umum, kebolehan
bersifat khusus bagi yang mahir baca tulis, sehingga tidak dikhawatirkan
melakukan kesalahan, sebagaimana kasus Abdullah Amr ibn As.
Empat pandangan di atas meskipun agak berbeda, sebenarnya mengarah pada
realitas kebolehan menulis hadis Nabi, hanya
saja pendapat kedua yang paling menukik dengan mensyaratkan tidak satu naskah
karena takut tercampur dengan al-Qur’an.
Berdasar data-data di atas, maka dapat kita pahami mengapa
penulisan hadis secara keseluruhan tidak selesai masa Nabi dan sahabat. Ada
beberapa alasan yang mendukung untuk itu:
1.
Fokus utama pada masa-masa awal Islam adalah
mengkaji, menghafal, memahami dan
mendalami apa yang tertuang dalam sumber
utama, al-Qur’an.
2.
Segala apa
yang diajarkan dan disampaikan Nabi kepada para sahabat telah langsung
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan ketika mereka menemukan
satu persoalan mereka bisa langsung menyakan dan mendapatkan jawabannya dari
Nabi.
3.
Kekhawatiran tercampurnya tulisan al-Qur’an
dengan hadis, karena al-Qur’an sebagai kajian utama.
4.
Secara
kuantitas materi hadis relatif jauh lebih banyak dari al-Qur’an, karena tidak
saja mencakup qauliyyah Nabi, tetapi juga fi’liyyah, taqririyyah, bahkan sifat
khalqiyyah maupun khuluqiyyah Nabi. Terlebih ketika mendapatkan satu realitas
bahwa periwayatan hadis biasa dilakukan bil ma’na juga, semakin memperbesar
kuantitas materi hadis yang harus ditulis.
Dan ternyata setelah Rasulullah SAW
meninggal dunia sahifah-sahifah berisi hadits- hadits Rasullah SAW seperti
sahifah Sa’ad Ibnu Abu Ubadah, Sahifah Jabir Ibn Abdullah, Samurah Ibn Jundab
dan yang lainnya[8].
Bahkan Muhammad Mustafa Azami PhD menulis dalam tesis doktoralnya yang berjudul
Studies in Early Hadits Literature menyatakan bahwa sejak awal pertama
hijriyah buku-buku kecil berisi hadits telah beredar[9].
Walaupun ada
sahifah-sahifah berisi hadits-hadits Rasulullah SAW, kodifikasi hadits ini
tidak dilakukan secara formal seperti halnya al-Qur’an sampai abad pertama
Hijriyah berlalu, padahal bisa saja para sahabat mengumpulkan hadits-hadits
shahih dan mensarikannya dalam sebuah kitab. pengarang fajrul Islam memberi
komentar
Mungkin hal
itu juga terpikirkan oleh sebagian mereka, tetapi pelaksanaannya amat sukar.
Sebab mereka tahu sewaktu Nabi SAW wafat jumlah sahabat yag mendengarkan dan
meriwatkan dari beliau 114.000 orang. Setiap orang masing- masing mempunya
satu, dua hadits seringkali nabi mengatakan sebuah hadits di hadapan segolongan
sahabat yang tidak didengar oleh golongan lain[10].
C .Periode Penulisan Hadist Abad
I
Adapun dalam
perkembangan penulisan hadits telah dicoba mengelompokkannya kedalam beberpa
periode, seperti yang dirumuskan oleh M Hasbi Asyiddiqi yang membagi kedalam
beberapa periode pada masa Nabi, sahabat,dan tabi’in yaitu pada abad pertama, M
Hasbi Asyiddiqi membagi menjadi tiga periode[11].
1. Periode Pertama (Masa Rasulullah
SAW)
Pada periode pertama para sahabat
langsung mendengarkan hadis dari Rasulullah SAW atau dari sahabat lain, hadis-hadis
diriwatkan secara berpindah-pindah dan disampaikan dari mulut ke mulut
Masing-masing perawi pada waktu itu meriwayatkan hadis berdasarkan kekuatan
hapalannya, memang hapalan mereka terkenal kuat sehingga mampu mengeluarkan
kembali hadis-hadis yang pernah direkam dalam ingatannya karena para sahabat tersebar di
penjuru negeri, ada yang di Dusun, dan ada yang di kota. Adakalanya diterangkan
oleh istri-istri rasul seperti dalam masalah kewanitaan dan rasulullah SAW juga
memerintahkan para sahabat untuk menghapal dan menyebarkan kepada orang lain hadits-haditsnya
diantara sabda beliau
Hendaknya yang ada disini menyampaikan (apa yang
diperolehnya) kepada yang tidak ada. Banyak orang yang menyampaikan (ilmu
kepadanya orang lain) lebih mengerti
daripada yang mendengar langsung dari
sumbernya. [12]
Juga sabda Rasulullah
Sholallahu 'alahi wasallam lainnya
وقال: حدثوا عني ولا
تكذبوا علي، ومن كذب علي - قال همام: أحسبه قال: متعمداً - فليتبوأ مقعده من النار "[13]
”Dan ceritakanlah dari padaku, tidak
ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar daripadaku. Barang
siapa yang berdusta terhadap diriku, hendaklah ia bersedia menempati
kedudukannya di neraka.”
Pada masa ini
nabi lebih menekankan kepada para sahabat untuk menyebarkan hadist melalui
hafalan mereka,serta menuntut ilmu agama dengan sungguh-sungguh, adapun
pelarangan dan perizinan menulis hadist juga terjadi di masa ini dan itu sudah
kita bahas pada bab sebelumnya
2. Periode Kedua (Masa Khalifah
Rasyidah)
Pada masa perintahan
Abu Bakar r.a. dan Umar r.a., pengembangan hadits tidak begitu pesat, hal ini
disebabkan kebijakan kedua khalifah ini dalam masalah hadits, mereka
menginstruksikan agar berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Bahkan khalifah
Uimar r.a dengan tegas melarang memperbanyak periwayatan hadits.Hal ini
dimaksudkan agar al-Qur’an terpelihara kemudian ummat Islam memfokuskan dirinya
dalam pengkajian al-Qur’an dan penyebarannya.
Hakim
meriwayatkan; pernah suatu malam Abu Bakar r.a merasa bimbang sekali, pagi
harinya ia memanggil putrinya Aisya r.a dan meminta kumpulan hadits yang ada padanya
lalu Abu Bakar membakarnya.
Lain halnya ada
masa khalifah Utsman dan Ali r.a, mereka sedikit memberi kelonggaran dalam
mengembangkan hadits tetapi mereka masih sangat berhati-hati agar tidak
bercampur dengan al-Qur’an, Khalifah Ali r.a, melarang penulisan selain
al-Qur’an yang sesungguhnya ditujukan untuk orang-orang awam, karena beliau
sendiri memiliki sahiofah yang berisi kumpulan hadits
a). Metode Sahabat
dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
1.
Kehati-hatian dalam meriwayatkan
hadis. Seperti :
Metode Abu Bakar dan Umar dalam
menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan permasalahan pada Al-Qur’an.
Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain : ‘Apakah ada
yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada
masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan riwayat
(Taqlil al-Riwâyah).
2. Kecermatan (selektif) sahabat dalam
menerima riwayat. Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya. Mencari
hadis dari perawi lain. Meminta kesaksian selain periwayat.
3. Periode Ketiga ( Masa Sahabat
Kecil dan Tabi’in Besar)
Setelah
berakhirnya masa pemerintahan Ali r.a, ummat Islam dilanda fitnah besar, dimana
mereka terpecah menjadi 3 golongan; Golongan pendukung Ali (syi’ah), golongan
pendukung Muawiyah dan golongan Khawarij.
Dalam
perkembangannya golongan-golongan ini mulai memalsukan hadits dengan tujuan
membenarkan golongan mereka dan menjatuhkan golongan lain. Hal ini mendorong
para sahabat dan tabi’in lebih berhati-hati dalam meriwatkan dan mengumpulkan
hadits. Tapi walau bagaimanapun belum ada kodifikasi secara formal.
Abad
pertama seluruhnya mencakup masa sahabat, sebab sahabat-sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits meninggal pada abad pertama Hijriyah ini, walaupun ada yang
meninggal sesudah itu.
D. Daftar nama
sahabat yang menulis hadist
Disini
akan dituliskan nama-nama sahabat, serta kegiatan mereka berkenaan dengan
penulisan hadits, serta tahun mereka lahir dan kapan wafatnya. Hal ini penting
kita ketahui dalam pembahasan sejarah penulisan hadits.
1. Abu umamah al-Bahili
Nama
aslinya Shudai bin ’Ajlan, RA (10 SH - 81 H). Beliau termasuk yang berpendapat
membolehkan penulisan hadits. Hadits-hadits beliau ditulis oleh al- Qasim
al-Syami.[14]
2. Abu Ayyub al-Ansari
Nama
aslinya Khalid bin Zaid, RA. (w. 52 H) beliau menulis beberapa hadits Nabi dan
dikirimkan kepada kemanakannya, seperti yang dituturkan dalam kitab Musnad Imam
Ahmad[15].
Cucu beliau, yaitu Ayyub bin Khalid bin Ayyub al-Ansari juga meriwayatkan 112
hadits. Yang biasanya hadits yang banyak semacam ini dalam lembaran-lembaran (shahifah).
3.Abu Bakar al-Siddiq, RA. ( 50 SH – 13 H)
Dalam
suratnya kepada Anas bin Malik, gubernur Bahrain, Abu Bakar mencantumkan
beberapa hadits tentang wajibnya membayar zakat bagi orang- orang Islam[16].
Abu bakar juga berkirim surat kepada ’Amr bin al-’Ash, dimana dalam surat itu
dicantumkan beberapa hadits Nabi [17]
4. Abu Bakrah al-Tsaqafi
Nama
sebenarnya Nufa’i bin Masruh (w. 51 H). Beliau menulis surat kepada anaknya
yang menjadi hakim di Sijistan, dimana beliau mencantumkan beberapa hadits
berkaitan dengan peradilan[18]
5.Abu Rafi, Mantan Sahaya nabi SAW.
Beliau
wafat sebelum tahun 40 H. Abu Bakr bin Abd Rahman mengatakan, ia diberi kitab
oleh Abu Rafi’ yang berisi hadits-hadits tentang pembukaan shalat[19].
Hadits-hadits dari Abu Rafi’ ditulis oleh Abdullah bin ’Abbas; seperti yang
dituturkan Salma, ia melihat Abdullah bin Abbas membawa papan-papan untuk
menulis hadits-hadits amaliah Nabi dari Abu Rafi[20].
6. Abu Sa’id al-Khudri
Nama
aslinya Sa’ad bin malik, RA, (w. 74 H). Beliau dekenal sebagai orang yang
melarang murid-muridnya untuk menulis hadit-hadits daripadanya. Tetapi beliau
menulis hadits untuk dirinya sendiri, sebagaimana dikutip al-Khatib al-Bagdadi
dalam kitab Taqyyid al-’Ilm bahwa beliau berkata ”Saya tidak menulis apapun
selain al-Qur’an dan tasyahhud[21].
7. Abu Syah,
orang dari Yaman
Ketika
Rasulullah SAW menaklukkan kota Makkah, beliau berpidato, lalu Abu Syah memohon
kepada Rasulullah agar isi pidato itu dituliskan untuknya. Maka Rasulullah
bersabda,”Tuliskanlah untuk Abu Syah.[22].
8. Abu Musa
al-Asy’ari
Nama
aslinya Abdullah bin Qais, RA (w. 42 H). Konon beliau menentang penulisan
hadits Nabi. Tetapi beliau menulis surat kepada Abdullah bin Abbas dengan
mencantumkan beberapa hadits nabi [23].
9. Abu
Hurairah, RA (19 SH – 59 H)
Belaiu
adalah tokoh orang-orang yang hafal hadits. Pada awalnya Abu hurairah tidak
memiliki kitab hadits, tetapi pada masa-masa belakangan beliau menuturkan bahwa
beliau mempunyai kitab-kitab hadits, seperti dalam kisah yang diriwayatkan oleh
Fadlbin ’Amr bin Umayyah al-Dlamri [24].
10. Abu Hind
al-Dari,
Hadits-haditsnya ditulis oleh
Ma,khul [25].
11. Ubai bin
Ka’ab bin Qais al-Anshari, RA (w. 22 H)
Beliau
adalah tokoh sahabat ahli qira’at. Hadits-hadits beliau ditulis oleh Abu
al-’Aliyah Rufai’ bin Mahran dalam sebuah naskah (buku) besar. Hadits-haditsnya
menyangkut masaalah penafsiran al-Qur’an [26].
12.Asma binti
’Umais, RA (w. Sesudah 40 H)
Semula
beliau adalah istri Ja’far bin Abu Thalib, lalu menikah dengan Abu bakar,
kemudian dengan Ali bin Abi Thalib. Dan dari ketiga suami tersebut beliau
melahirkan putra-putra. Beliau nenyimpan sahifah yang berisi hadits-hadits Nabi
[27]
13. Usaid bin
Hudhari al-Ansari, RA
Beliau
wafat pada masa Khalifah Marwan bin al-Hakam. Beliau menulis hadits- hadits
Nabi, keputusan-keputusan hukum yang yang ditetapkan oleh Abu Bakar, Umar,
Utsman. Tulisan beliau itu dikirimkannya kepada Marwan [28].
14. Anas bin
Malik, RA. (10 SH – 93 H)
Beliau
adalah seorang imam, pembantu Nabi dan ahli hadits, sangat pandai menulis.
Dalam beberapa riwayat bahwa Anas bin Malik mempunyai banyak kitab. Abu Hurairah
berkata, ”Apabila Anas bin Malik hendak mengajarkan haditsnya dan ternyata
jumlah muridnya banyak sekali, beliau membawakan kitab-kitabnya, kemudian
berkata ”ini adalah hadits-hadits yang saya dengar dari rasulullah SAW, saya
menulisnya dari beliau dan kemudian saya perlihatkan kembali kepada beliau [29].
15. al-Bara’
bin Azib, RA. (w. 72 H)
Murid-murid
beliau menulis hadits di hadapan beliau. Seperti keterangan Waki’, ia
diberitahu Ayahnya, dari Abdullah bin Hansy, katanya: “Saya melihat para murid
itu menulis dengan kayu dan alas tas-tas yang biasa ditaruh di punggung hewan
di kediaman al-Bara”[30].
16. Jabir bin
Samurah, RA. (w. 74 H)
Beliau
menulis hadits kemudian mengirimkannya kepada ’Amir bin Saad. Kata Amir bin
Sa’ad, ”Saya menulis surat kepada Jabir dibawah oleh budakku yang bernama
Nafi’, agar saya diberitahu hal-hal yang pernah didengarnya dari Rasulullah.
Maka Jabir membalas suratku seraya menyebutkan Hadits-hadits Nabi”[31].
17. Jabir bin
Abdillah bin Amr bin Haram, RA. (16 Sh – 78 H)
Beliau
adalah sahabat yang wafat paling akhir di Madinah, disamping sebagai penulis
buku pada masa-masa awal. Beliau mempunyai kitab tentang masalah haji yang
kemudian ditulis kembali oleh Imam Muslim[32].
18. Jarir bin
Abdullah al-Bajali, RA. (w. 54 H)
Beliau
menulis hadits dan mengirimkannya kepada Mu’awiyah. Seperti yang dituturkan
oleh Abu Ishaq bahwa Jarir bin Abdullah termasuk rombongan yang dikirim ke
Amernia. Mereka ditimpa kekurangan pangan. Lalu Jarir menulis surat kepada
Mu’awiyah dimana disebutkan, ”Saya mendengar rasulullah bersabda, ”Barang siapa
tidak kasih sayang kepada sesama manusia, maka Allah tidak akan mengasihinya[33].
19. Hasan bin
Ali, RA. (3 – 50 H)
Beliau
pernah berkata kepada orang-orang yang tidak kuat hafalannya agar menulis
hadits. Beliau juga menyimpan fatwa-fatwa Ali yang terhimpun dalam satu sahifah[34].
20. Rafi’ bin
Khadij al-Ansari, RA ( 12 H – 74 H)
Beliau menyimpan hadits-hadits Nabi
yang tertulis di atas kulit[35].
21.Zaid bin Arqom (w. 66 H)
Beliau
menulis hadits dan mengirimkannya kepada Anas bin Malik. Dalam surat itu Zaid
mengatakan, ”saya akan menyampaikan kabar yang menggembirakan dari Allah
untukmu.yaitu saya mendengar Rasulullah SAW berdo’a,”wahai Allah, ampunilah
dosa orang – orang anshor dan anak-anaknya[36].
22. Zaid bin
Tsabit Al- Anshori, RA (w 45 H )
Beliau
ahli qira’at dan menjadi sekertaris Nabi. Zaid terbukti menulis Hadits- hadits
Nabi, sebagaimana beliau menulis juga menulis pendapat-pendapatnya sendiri
misalnya dalam masalah kakek ( dalam hukum waris ), Zaid menulis hal itu kepada
Umar bin Khatthab atas permintaan Umar. Tulisan Zaid itu termasuk buku yang
pertama kali ditulis dalam masalah faraid[37].
23.Subai’ahal-Aslamiyah
Beliau adalah istri Sa’ad bin Kaulah. Meriwayatkan hadits dari nabi SAW. Beliau juga menuliskan hadist untuk para Tabi’in.
Beliau adalah istri Sa’ad bin Kaulah. Meriwayatkan hadits dari nabi SAW. Beliau juga menuliskan hadist untuk para Tabi’in.
24. Sa’ad bin
Ubadah al-Anshari, Sayyid al-Khazraj, RA. (w. 15 H)
Sejak
masa Jahiliyah beliau sudah aktif menulis. Beliau juga memiliki kitab-kitab
yang kemudian diriwayatkan oleh beberapa anggota keluarganya. Bahwa didalam
kitab-kitab Sa’ad bin Ubadah terdapat keterangan bahwa Raslullah SAW mengadili
perkara dengan sumpah ditambah saksi[38].
25. Salman
al-Farisi, RA (w. 32 H)
Beliau menuliskan hadits-hadits Nabi
untuk Abu Darda[39].
26. al-Sa’ib
bin Yazid, RA (2 – 92 H)
Salah
seorang murid beliau, yaitu Yahya bin Sa’id menulis sejumlah hadits yang
berasal dari beliau, dan dikirimkannya kepada Ibn Lahi’ah. Ibn Lahi’ah sendiri
menuturkan bahwa Yahya bin Sa’id mendengar sendiri hadits-hadits itu dari al-
Sa’ib bin Yazid[40].
27. Samurah bin
Jundub, RA (w. 59 H)
Beliau
menghimpun hadits-hadits Nabi dalam bentuk buku. Beliau juga menulis hadits
kepada putranya damana dicantumkan banyak hadits-hadits Nabi.[41]
28. Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi al-Anshari, RA (9
SH – 91 H)
Hadits-hadits
beliau diriwayatkan oleh putranya Abbas, al-Zuhri, dan Abu Hazim bin Dinar. Abu
Hazim mengumpulkan hadits-hadits Sahl bin Sa’ad al-Sai’i, kemudian putranya Abu
Hazim meriwayatkan hadits-hadits itu[42]
29. Syaddad bin
Aus bin Tsabit al-Anshari, RA. (17 SH-58 H)
Beliau adalah ahli fiqih, Saddad bin
Aus mengimlakan haditsnya kepada sejumlah pemuda. Beliau berkata ”Saya akan
memberitahu tentang hadits yang diajarkan Nabi SAW kepada kita untuk waktu berpergian
dan di rumah. Lalu beliau mengimlakannya.[43].
30. Syamghun al-Anshari, Abu Raihana, RA.
Beliau
termasuk tokoh penduduk Damaskus, dan orang pertama yang melipat sahifah yang
lebar untuk menulis hadits mudraj dan maqlub. Urwah al-â’ma, hamba sahaya bani
Sa’ad, menuturkan, pada waktu Abu Raihana naik perahu, beliau membawa
sahifah-sahifah hadits.[44]
31. al-Dhahhak bin Sufyan al-Kilabi, RA.
Rasulullah
SAW mengirimkan surat kepada al-Dhahhak dan memerintahkan agar istri Asyim
al-Dhababi diberi warisan dari diyat (denda pembunuhan) suaminya. Kemudian al-Dhahhak
menulis surat keada Umar bin Khattab, menerangkan hadits tersebut[45].
32.al-Dhahhak bin Qais al-Kilabi, RA. (wafat
terbunuh tahun 64 H atau 65 H)
Beliau
menulis surat untuk Qais bin Haitsman seraya menyebutkan beberapa hadits Nabi.[46]
33. Umm al-Mu’minin ’Aisyah binti Abu Bakar
al-Siddiq, RA. (w. 58 H)
Beliau
adalah wanita yang sangat cerdas sangat paham al-Qur’an sunnah dan perkara
agama lainnya. Beliau bersama Rasulullah sejak umur 9 tahun sehingga beliau
banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 buah hadits. Beliau
pandai membaca dan sering menerima surat dari orang-orang yang menanyakan satu
masalah dalam agama[47].
34. ’Abdullah bin Abu Aufa, RA. (w. 86 H)
Beliau adalah Sahabat Nabi yang
wafat paling akhir di Kufa. Ada beberapa murid beliau yang menuliskan hadits
dari beliau ataupun ada yang memintakan agar dituliskan hadits[48].
35.’Abdullah
bin al-Zubair, RA. (2 - 73 H)
Beliau menulis surat kepada salah
seorang hakimnya yang bernama Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, seraya
mencantumkan sebuah hadits Nabi[49].
36.’Abdullah
bin ’Abbas, RA. (3 SH - 68 H)
Beliau sangat alim, sampai disebut
tintanya ummat islam. beliau menulis hadits- hadits Nabi dan terkadang menyuruh
hamba-hambanya untuk menulis hadits.[50]
37.’Abdullah
bin ’Umar bin al-Khattab, RA(10 SH - 74 H)
Beliau adalah alim, dan selalu melakukan hal-hal yang
dilakukan Rasulullah baik hal yang kecil maupun yang besar. Dalam
surat-suratnya beliau menulis hadits- hadits Nabi. Beliau juga memiliki buku-buku
hadits serta mempunyai naskah kitab sadaqah milik Umar bin Khattab, yang ternyata
itu adalah naskah kitab sadaqah Nabi SAW.[51]
38.‘Abdullah
bin ’Amr bin al-Ash, RA. (27 SH - 63 H)
Beliau banyak menuliskan hadit-hadits Nabi,
mengimlakan haditsnya kepada muridnya. Dan menulis sebuah sahifah tentang maghazi (kisah peperangan Nabi SAW[52].
39. ‘Abdullah
bin Mas’ud al Hadzali, (w.32 H)
Beliau
ahli fiqih yang ulung, diutus ke Kufah sebagai guru dan wazir. Beberapa riwayat
yang menyebutkan bahwa beliau menulis hadits adalah Juwaibir dari al- Dhahhak
dari Abdullah bin mas’ud, katanya “Ketika Nabi masih hidup, saya tidak menulis
hadits kecuali hadits tentang tasyahhud dan istikharah. Dan juga diriwayatkan
bahwa Abd Rahman bin Abdullah bin Mas’ud pernah memperlihatkan sahifah dan ia
bersumpah bahwa sahifah itu tulisan tangan ayahnya.[53]
40.‘Utban bin
Malik al-Anshari, RA. (wafat pada masa Mu’awiyah RA)
Beliau
dipersaudarakan dengan Umar bin Khattab. Anas bin Malik pernah menyuruh
putranya agar menulis hadits yang diriwayatkan Utban bin Malik[54].
41.’Ali bin Abi thalib, RA. (23 SH - 40 H)
Beliau
adalah hakimnya ummat Islam, termasuk salah seorang sekertaris Nabi. Beliau
memiliki sahifah yang disebutkan dalam banyak sumber.[55].
42. Umar bin
Khattab, RA. (40 SH – 23 H)
Beliau
adalah wazir Nabi SAW. Menulis hadits-hadits Nabi dalam surat-surat resmi. Abu
Ubaidah bin Jarrah juga menulis surat untukUmar, lalu Umar menjawab, dengan
mencantumkan beberapa hadits Nabi. Umar juga mengelompokkan hadits-hadits yang
khusus membahas Zakat dalam suatu surat[56].
43. Amr bin
Hamz al-Anshari, RA (wafat sesudah 50 H)
Beliau
ditugaskan oleh Nabi untuk menjadi kepala daerah Najran. Nabi SAW juga
mengirimkan surat kepadanya dimana Nabi SAW menuliskan hadits-
haditsnya.kemudian Amr bin Hazm membukukan surat-surat Nabi. Buku ini kemudian
diriwayatkan oleh putranya. Dan sekarang buku ini dicetak bersama dengan buku
‘î’lam al Sailin ‘an kutub sayyid al-mursalin’ karangan Ibn Tulun.[57]
44.Fatimah
al-Zahra binti Rasulllah SAW (w. 11 H)
Beliau
menyiman sahifah yang berisi wasiat beliau sendiri. Dalam wasiat itu terdapat
juga hadits-hadits Nabi SAW.[58]
45. Fatimah
binti Qais, RA
Beberapa hadits beliau ditulis oleh
Abu Salamah[59].
46. Muhammad
bin Maslamah al-Anshari, RA 31 SH - 46 H)
Setelah
beliau wafat, di dalam sarung pedangnya ditemukan sebuah sahifah yang berisi
hadits-hadits Rasulullah SAW[60].
47. Mu’adz bin
Jabal, RA (20 SH – 18 H)
Beliau
diutus oleh Rasulullah ke Yaman dan dikirimi surat oleh rasulullah yang berisi
hadits-hadits tentang zakat. Yang kemudian menjadi kitab Mu’adz (yang berisi
surat-surat Nabi SAW).[61]
48. Mu’awiyah
bin Abu Sufyan, RA (w. 66 H)
Beliau
termasuk sekertaris Nabi. Dan dari Nabi pula beliau belajar membuat titik
huruf. Beliau pernah menulis surat kepada Ummul Mukminin Aisyah agar dituliskan
hadits-hadits yang didengarnya dari Rasulullah. Beliau juga pernah berkirim
surat kepada Marwan dimana disebutkan beberapa hadits Nabi SAW[62].
49. al-Mughirah
bin Su’bah (w. 55 H)
Warrad,
sekertaris al-Mughira mengatakan bahwa ia menuliskan surat al- Mughirah yang
mendiktekannya dan dikirim kepada Mu’awiyah, dalam surat tersebut terdapat
hadits Nabi SAW.[63]
50. Ummul
Mukminin Maimunah binti Harits al-Hilaliyah, RA (w. 51 H)
Beliau dinikahi oleh Rasulullah pada
tahun 7 H. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh
hamba-hambanya[64].
51. Nu’man bin
Basyir al-Anshari, RA (2 – 65 H)
Beliau
menjadi walikota Hamsh di Syam. Ada tiga orang yang menyimpan tulisan hadits
beliau, yaitu: Qais bin al-Haitsam, al-Dahhak bin Qais, Habib bin Salim[65].
52. Watsilah
bin al-Asqa’, RA (22 SH – 83 H)
Beliau
mengimlakan hadits kepada murid-muridnya. Seperti yang dikatakan oleh Ma’ruf
al-Khayyat, beliau melihat Watsilah mendektekan hadits Nabi dihadapan
murid-muiridnya.[66]
BAB II
PENUTUP
Sebagai
kesimpulan bahwa adanya larangan untuk menulis hadits pada masa wahyu masih
turun, adalah merupakan sikap kehati-hatian Rasulullah dalam menjaga kemurnian
al-qur’an yang diikuti oleh para Khalifa Rasyidah dengan memberikan batasan
secara ketat dalam penulisan hadits. Sehingga hanya orang-orang tertentu saja
yang diperbolehkan menulis hadits. Itupun dalam rangka memenuhi kebutuhan ummat
akan suatu permasalah agama yang belum diketahui. Sehingga kita dapat melihat
kegiatan tulis-menulis hadits lebih pada surat kepada Sahabat yang lain.
Ataupun hadits-hadits Nabi ditulis sebagai koleksi pribadi Sahabat.
Meskipun diakui banyak pihak kodiifikasi
hadis secara total memiliki rentang waktu yang panjang dengan masa Nabi, namun
bukan berarti tidak ada tali pengait yang menjembatani keduanya. Adanya
naskah-naskah awal yang ditulis oleh para sahabat dan sampainya naskah-naskah
itu pada generasi selanjutnya sehingga berhasil dikodifikasikan oleh kolifah
umar bin abdul azis menjadi bukti keorisinilan hadist nabi, dan hal ini sekaligus
menjadi indikasi dapat terjaganya hadis ke dalam bentuk tulisan
Akhirnya
kita memohon dan berdo’a kepada Allah agar kita senantiasa dapat mengikuti
sunnah-sunnah Rasul-Nya dan Menyebarkannya. Allahumma Amin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Azami
Muhammad Mustafa , Studes in Early Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa
Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000
·
Hasan Qadir, Ilmu Musthalah Hadits,
Bandung: Dipenegoro, 2007.
·
Rosnawati Ali, Pengantar Ilmu Hadits,
Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997.
·
Azami Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik
Hadits, Bandung: Pustaka Hidayah,1996.
·
Ahmad Amin, Fajrul Islam, Terj. Zaini
Dahlan, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
·
Hasby Muhammad
Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, 1998.
·
Hanbal, Ahmad.
Musnad al-Imam Ahmad. tahqiq Ahmad Muhammad Shakir. Kairo: Dar
al-Ma’arif
·
Al-Khatib,
Muhammad Ajjaj. al-Hadis ulumul wa Mustalahuh. Beirut: Dar al-Fikr,
1989.
·
Al-Zahabi, Abu Abdullah
Muhammad bin Ahmad. Kitab Tadhkirah al-Huffaz. Juz I.: Dairah al-Ma’arif,
1955
·
محمد بن عبد الوهاب بن سليمان,: رسالة لشيخ الإسلام محمد بن عبد الوهاب (المتوفى: 1206
·
حسناء بنت بكري نجار, كتابة الحديث النبوي في
عهد النبي صلى الله عليه وسلم بين النهي والإذن: مجمع الملك فهد لطباعة المصحف الشريف بالمدينة المنورة ,عدد
الأجزاء: 1
·
محمد بن إسماعيل أبو عبدالله البخاري الجعفي: الجامع المسند الصحيح, البخاريالأولى،
1422هـ عدد الأجزاء:1
[1] http://aadesanjaya.blogspot.com/2010/10/penghimpunan-hadits.html
[2] Muhammad Mustafa Azami, Studes in Early
Hadith Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000. Hlm. 103
[3] Ibn Abd al-Hakam, Sirah Umar bin Abdul Aziz,
yang dikutip oleh M.M. Azami dalam buku beliau Studes in Early Hadith
Literature, Terj. Ali Mustafa Ya'qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Hlm.
104
[5] صحيح
مسلم بشرح النووي، كتاب الزهد، 18/129
[6] Hasby Ash Shiddeqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, Jakarta, 1998. hlm. 33
[8]Rosnawati Ali,
Pengantar Ilmu Hadits, Kualalumpur: Ilham Abati Enterprise, 1997. hlm.
67
[15]
Musnad
Imam Ahmad, v: hal 424,
[16] Shahih al-Bukhari, Hadits no. 1454.
[18] Musnad
Imam Ahmad, v:36.
[19] Al Kifayah,hal 330-331.
[20] Tabaqat Ibn Saad, ii:hal: 123.
[21] Taqyyid al-ilm,hal 93
[22] Shahih Bukhari, al-Lugatah, 6, hadits 2434,
6880.
[23]
Musnad Imam Ahmad, iv: hal 396
[24]
Musnad Ibn Wahb. al Ilal, hal 120
[25]
N. Abbot, Studies in Arabic Literary
Papyri, ii: hal 238.
[26]
al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, i:hal
115.
[28] Musnad Imam Ahmad, iv:hal 226.
[30] Abu
Khaitsamah, al-Ilm,hal 144.
[31] Shahih Muslim, al-Amarah, hal 10
[32] Tadzkirah al-Huffadh, hal 43
[33] Musnad Imam Ahmad, iv:hal 361.
[34] Al-Ila, i:hal 104.
[35] Musnad Imam Ahmad, iv:hal 141.
[36] Musnad Imam Ahmad, iv: hal 370 .
[37] al-Mustadrak, i:hal 75.
[38]Musnad Imam Ahmad, v: hal 285.
[39]
Al-Mizan, iv:hal 546 .
[40]
Al-Amwal, hal 393,
[41]
Tahdzib, iv: hal 236-237
[42]
Al-Kamil, iii:hal 4
[43]
Siyar â’lam al-Nubala, ii:hal 331.
[45] Sunan Ibnu Majah, al-diyat,hal 12 (hadits no.
2642)
[46] Musnad Imam Ahmad, iii:hal 453 .
[47] Shahih Muslim, alhajj,hal 369.
[48] Musnad Imam Ahmad, iv:hal 353-354 .
[49] Musnad Imam Ahmad, iv:hal 4.
[50] Ibn Sa’ad, ii:hal 123.
[51] Al-Buukhari,
Tarikh al-Kabir, i:hal 325.
[52] Tabrani, al-Mu’jam al-Kubra, iii:hal 176
[53] Al Ilal, i:hal 322 dan Jami, bayan al-Ilm, i:hal
66.
[54] Shahih Muslim, al-iman,. taqyyid al-ilm,hal 54
[55] Musnad Imam Ahmad, i:hal 79.
[57] Ibn Tulun, I’lam al-Sailin, 48-52
[58]
Musnad Imam Ahmad, vi:283 .
[59]
Shahih Muslim, al-Talaq, 39
[61] Musnad Imam Ahmad, v:hal 228 .
[62] Musnad
Imam Ahmad, iv:hal 94.
[64] Musnad Imam Ahmad, vi:hal 333 .
[65] Musnad Imam Ahmad, iv:hal 277.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar